Monday, May 12, 2008

Mematahkan Belenggu BBM

BELENGGU bahan bakar minyak terhadap sistem kehidupan dan perekonomian Indonesia sangat kuat. Celakanya, belenggu BBM itu semakin lama semakin mematikan. Karena itu, diperlukan keberanian luar biasa untuk mematahkan belenggu tersebut.
Perekonomian Indonesia dibangun dan dimanjakan kelimpahan minyak sejak 1970-an. Kita berperilaku--sampai sekarang--seperti negara kaya minyak. Padahal, faktanya kita telah menjadi importir minyak sejak akhir 1980-an.
Kemanjaan itu terlihat sangat jelas sampai sekarang. Yaitu Indonesia tetap bertahan sebagai anggota OPEC--organisasi negara-negara pengekspor minyak--padahal kita telah kehilangan status sebagai pengekspor.
Perilaku sebagai negara kaya minyak dipelihara melalui kebijakan subsidi BBM hingga saat ini. Dalam APBN 2008 yang telah diperbarui, subsidi BBM mencapai Rp126,8 triliun.
Padahal dari waktu ke waktu, ketika harga minyak bergejolak, subsidi BBM menjadi bumerang.
Tatkala harga minyak sekarang mulai menyentuh US$120/barel, lonjakan subsidi BBM bisa mencapai Rp250 triliun. Itulah angka yang mematikan bila terus dipelihara.
Dengan posisi sebagai importir, tidaklah masuk akal Indonesia mempertahankan kebijakan subsidi BBM. Negara biasanya memberi subsidi pada barang-barang yang ketersediaannya melimpah ruah. Air minum, misalnya, bisa disubsidi karena kita memiliki sumber yang banyak.
Yang amat menggelikan, Indonesia menempuh subsidi BBM yang persediaannya semakin langka. Subsidi itu pun dibakar mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya tanpa banyak makna bagi kemaslahatan publik.
Jadi sangat jelas, subsidi BBM adalah kebijakan bunuh diri. Namun, pemerintah seperti kehilangan akal untuk mematahkan belenggu itu.
Begitu parahnya belenggu BBM, pemerintah tidak saja kehilangan akal secara substansial, yaitu menaikkan atau menghapus subsidi, tetapi juga kehilangan akal dalam cara menyampaikan kebijakan.
Belum tahu kapan diumumkan, pemerintah sudah memberi sinyal bahwa BBM akan naik sekitar maksimal 30%. Apa akibatnya? Pasar yang memperoleh sinyal itu segera menaikkan harga barang kebutuhan sesuai dengan perhitungan sendiri. Ketika harga BBM dinaikkan secara resmi, pasar menaikkan lagi harganya. Jadi, untuk satu kenaikan harga BBM rakyat memikul beban dua kali. Itu kesalahan prosedur yang fatal.
Belenggu BBM mungkin terlalu sulit dan riskan untuk dihapus serentak. Namun, opsi tentang penghematan tidak pernah dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Semua penghematan BBM yang disuarakan beberapa kali adalah penghematan sebatas omongan belaka. Dalam praktik, tidak dilaksanakan, terutama oleh pemerintah sendiri.
Lalu tentang energi alternatif. Itu juga kebijakan yang tidak jelas skema, sasaran, dan operasionalnya. Rakyat di sejumlah daerah diiming-iming menanam jarak pagar, tetapi tidak jelas akan dijual ke mana dan diproses pabrik apa. Akibatnya, biji jarak membusuk dan rakyat membasmi tanaman jarak karena tidak memberi kontribusi pada kesejahteraan.
Penghematan BBM di sektor transportasi publik juga tidak dilaksanakan. Proyek kereta bawah tanah di Jakarta baru sebatas omongan selama dua dasawarsa. Monorel terancam jadi besi tua.
Belenggu BBM hanya bisa dipatahkan dengan keberanian luar biasa, yaitu tidak ada lagi subsidi BBM dalam perekonomian Indonesia mulai sekarang dan seterusnya. Untuk mematahkan itu diperlukan pemimpin yang juga berani luar biasa.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...