Saturday, June 14, 2008

Menyeruput Tradisi Kopi Bali

TUR menelusuri tradisi masyarakat Desa Adat Kiadan Pelaga, memberi nilai-nilai kearifan lokal secara lebih jujur.

Hawa dingin mulai merasuk ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki kawasan Desa Adat Kiadan Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali. Setelah hampir satu jam berkendara dari Kota Denpasar, menempuh perjalanan sejauh 60 km, kami berhenti di Balai Subak Abian Sari Boga Kiadan Pelaga.

Subak merupakan organisasi petani tradisional di Bali yang bertugas memelihara dan mengatur sistem irigasi pertanian secara turun-temurun.

"Di sini kami biasanya melakukan pertemuan-pertemuan adat, juga pertemuan untuk membahas masalah-masalah pertanian. Tapi kalau ada tamu, kami upgrade jadi seperti ini," tutur Gede Wirata, local guide asal desa setempat yang menyambut kami.

Balai Subak itu terlihat berbeda, disulap menjadi layaknya sebuah restoran. Kata Wirata, hal itu dilakukan setiap kali ada wisatawan datang ke Pelaga.

"Kami menyebut tempat ini dengan sebutan Kubu Kopi Kiadan," ucap pria yang sudah delapan tahun menjadi pemandu wisata di desanya. Kubu merupakan sebutan untuk bangunan semacam gubuk di Bali. Disebut Kubu Kopi karena kopi merupakan produk unggulan desa ini.

Sudah hampir enam tahun masyarakat adat Pelaga membuka diri pada kegiatan pariwisata di desa mereka. Masyarakat Pelaga menawarkan tradisi mereka sendiri sebagai daya tarik dari aktivitas wisata yang biasa disebut wisata pedesaan (village tours)

"Silakan dicoba. Ini kopi look (dibaca lok) khas Pelaga," ujar Wirata sembari menyerahkan sebuah cangkir kosong. Tangannya menunjuk ke tungku tanah dengan periuk hitam di atasnya. Asap yang keluar dari periuk beraroma sedap.

Tak jelas kenapa masyarakat menyebutnya kopi look. Menurut Wirata, look merupakan sebutan khas turuntemurun warga Kiadan untuk kopi yang diolah secara tradisional dan direbus langsung dari tungku tanah liat. Kekhasan tradisi itu pula yang ditunjukkan masyarakat adat Kiadan kepada setiap wisatawan yang datang ke desa mereka. Periuk tanah yang sudah menghitam, disajikan seadanya. Kopi pun dituang dengan sendok besar dari batok kelapa yang terlihat agak usang. Sangat natural.

Menyeruput kopi look di tengah hawa dingin Pelaga, memberi kehangatan yang nikmat. Nikmat karena rasa kopi look yang kental, hitam pekat, dan beraroma kuat. Apalagi ditemani dengan sepiring kecil kue lukis injin, kue khas Kiadan dari kukusan ketan hitam yang dilengkapi taburan kelapa parut dan siraman gula aren.

Rasa nikmat kopi look mengundang penasaran. Kami lantas diajak menyusuri lebih dalam tradisi kopi Kiadan Pelaga. Mulai bagaimana kopi ditanam, dirawat, dipanen, dan diolah hingga siap dinikmati.

Wirata mengajak kami ke sebuah kebun kopi. Tak jauh dari Kubu Kopi Kiadan. Hamparan tanaman kopi yang buahnya mulai memerah, tampak cantik di antara rimbun pohon dadap dan pohon mindi. Sambil berjalan menyusuri jalan sempit di antara tanaman kopi, Wirata membagi pengetahuannya tentang menanam dan memanen kopi.

Bagian paling menyenangkan dari perjalanan kopi ini adalah memetik biji-biji kopi. Kebetulan kami datang tepat di masa-masa panen kopi. Pemilik kebun Ni Made Cita langsung mengajari kami cara memilih kopi layak panen. "Yang warnanya merah tua merata, bisa dipetik," ujar perempuan 43 tahun itu.

Puas memetik sendiri biji kopi Pelaga, kami diajak menengok proses pengolahan biji kopi secara tradisional. "Untuk pengolahan tradisional, kopi yang baru dipetik dijemur langsung di bawah terik matahari selama berhari-hari hingga kering. Setelah kering, biji kopi dibersihkan dari kulitnya, lalu disangrai di atas tungku kayu bakar," tutur Wirata.

Sebagian besar petani kopi Pelaga mengolah biji kopinya secara tradisional. Ini menjadi bagian unik lain yang bisa dinikmati di Pelaga. Pasalnya, mereka masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana, seperti tungku batu bata berukuran besar, penggorengan dari tanah liat, dan sendok kayu berukuran sedang.

Menelusuri tradisi kopi di Desa Adat Kiadan Pelaga, benar-benar memberi pengalaman wisata yang luar biasa. Setidaknya, hal itu yang dirasakan seorang pengunjung, I Gede Ardika. Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI ini mengaku kagum dengan ekowisata Pelaga. "Ini benar-benar pariwisata dari, oleh, dan untuk masyarakat. Memperkenalkan tradisi khas masyarakat secara jujur," ujarnya bangga.

Penasaran? Bila Anda berkunjung ke Bali, jangan lewatkan kesempatan menyeruput tradisi kopi khas Bali lewat ekowisata Desa Kiadan Pelaga.
Sumber : www.okezone.com

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...