Thursday, March 26, 2009

Transformasi Buddha Bar : "Bangunan ini sempat digunakan sebagai Nederlandsch-Indische Kunstkring"


Buddha Bar tidak hanya menyimpan kontroversi keberadaan salah satu kafe elit di Jakarta. Resto dan kafe yang terletak di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat ini menjadi saksi sejarah perjalanan Kota Jakarta.

Budha Bar banyak menyita perhatian publik, karena adanya protes dari Forum Anti Buddha Bar yang menuding resto ini menggunakan simbol agama. Namun mata publik tidak hanya tertuju pada bentuk bangunan yang ada sekarang ini.

Jika menengok bangunan ini, tidak bisa dipisahkan dari sejarah Jakarta. Menurut Sejarawan Adolf Heuken, dalam bukunya, Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia menyebutkan, pembangunan gedung seluas 1.320 meter persegi itu menjadi tanda awal sejarah arsitektur modern di Indonesia.

"Gedung Imigrasi dan Masjid Cut Metia merupakan gedung bertingkat pertama di Jakarta yang dibangun dengan konstruksi beton bertulang," kata Ketua Pelaksana Harian Masjid Cut Mutia, Herry Hermawan saat berbincang dengan VIVAnews.

Gedung bekas kantor Imigrasi Jakarta Pusat ini dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Gedung itu semula digunakan sebagai gedung Lingkaran Seni Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indische Kunstkring).

Gedung kesenian zaman Belanda itu tercatat juga menjadi gerbang masuk kawasan perumahan Menteng, sebuah permukiman pertama bagi warga Batavia kelas atas yang berkonsep kota taman.

Saat pertama dirancang oleh pengembang swasta NV De Bouwploeg. "Para arsitek Belanda yang membangun kawasan menteng saat itu berkantor di NV De Bouwploeg (Bolpo) yang sekarang menjadi masjid Cut Mutia," ungkapnya.

Pemerintah Hindia Belanda menggunakan gedung itu sebagai tempat penyelenggaraan pameran lukisan kelas dunia.

Di tempat itu juga pernah dipajang sejumlah karya asli para perupa terkenal di dunia, antara lain Van Gogh, Marc Chagall, Pablo Picasso, yang dipinjam dari berbagai museum di Eropa.

Setelah Indonesia merdeka, 1945 gedung tersebut dikuasai Pemerintah RI dan dijadikan kantor Imigrasi. Bangunan ini sampai tahun 1997 digunakan sebagai Kantor Imigrasi tempat warga masyarakat mengurus paspor

Seiring terjadinya krisis moneter, gedung peninggalan Belanda tersebut menjadi terbengkalai. Tahun 1998-1999 terjadi penjarahan besar-besaran terhadap bangunan tua yang sudah kosong tanpa tuan. "Kusen-kusen pintu dan jendela, kaca-kaca patri, lampu-lampu habis dirampok orang tak dikenal," katanya.

Herry mengatakan, penjarahan itu dilakukan, karena warga mengetahui jika gedung itu dibeli lisensi penggunaannya selama 20 tahun Tomy Soeharto.

Tapi setelah dijarah dikembalikan lagi kepada pihak Imirgasi, karena itu merupakan gedung cagar budaya kemudian dikembalikan ke Dinas Museum DKI.

Pasca penjarahan itu, kantor Imigrasi Jakarta Pusat pindah ke daerah Kemayoran. Sejak tahun 1999-2008 gedung itu seperti rumah hantu, menjadi tempat yang digunakan tuna wisma.

"Dari situlah kemudian tahun 2008 Buddha Bar bekerja sama dengan pihak dinas museum DKI, maka dijadikanlah tempat yang ada sekarang itu," imbuhnya.

Djan Faridz, pemilik lisensi Buddha Bar di Indonesia kemudian membangun restoran itu. Keberadaan Buddha Bar di gedung Imigrasi itu baru sekitar delapan bulan. "Ada informasi Buddha Bar dimiliki anaknya Sutiyoso dan putri Megawati, Puan Maharani. Tapi saya tidak tahu kebenarannya," terangnya.

Saat ini, gedung itu kembali terlihat megah. Meski harus beralih fungsi menjadi sebuah bar. Nampak di bagian paling atas dinding depan gedung bercat putih itu sama-sama masih terbaca tulisan besar “Immigrasie Dienst” (Dinas Imigrasi). Ini adalah nama lama, dari Direktorat Jenderal Imigrasi yang dikenal sekarang.

Gedung ini menjadi tanda dimulainya periode rasionalisme dalam sejarah arsitek Jakarta. Atau juga dikenal dimulainya periode modernisme.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...