Thursday, September 10, 2009

Pers Hanya Asal Memberitakan

Pemberitaan yang berbiak ke sana-kemari, sampai jauh dari ujung pangkal persoalan terorisme, menunjukkan kelemahan peliputan media massa

Tampaknya pemberitaan yang berbiak ke sana-kemari, sampai jauh dari ujung pangkal persoalan terorisme, menunjukkan kelemahan peliputan media massa. Media hanya mampu mengambil fakta-fakta di permukaan. Manakala fakta-fakta di permukaah sudah habis, masuk ke ranah lain yang bisa jadi tidak terlalu berhubungan dengan persoalan terorisme itu sendiri. Malah masuk ke wilayah sensitif praktik beribadah.

Terbanyak peliputan itu hanya menghasilkan tulisan berita, yang bersandarkan fakta objektif. Padahal teknik penulisan ini pada media-media di negara-negara maju, seringkali tidak memuaskan kebutuhan informasi masyarakat pembaca.

Itu sebabnya untuk mengungkap persoalan-persoalan pelik di masyarakat, terdapat teknik-teknik peliputan lain semacam investigasi, interpretatif, eksplanatori, dan sebagainya. Teknik-teknik peliputan itu pun menjadi kategori dalam pemberian penghargaan Pulitzer untuk tulisan jurnalistik unggulan di Amerika Serikat. Bahkan di media The New York Times terdapat Divisi Peliputan Investigasi.

Kebutuhan teknik-teknik peliputan tersebut sebagai upaya mencari dan menggali persoalan-persoalan yang ada di masyarakat dengan lebih mendalam. Penggalian ini sampai menyentuh fakta-fakta yang belum terungkap. Fakta-fakta yang mendalam itu bisa jadi sekadar dituliskan menjadi sebuah laporan mendalam, atau juga ditulis, dianalisa, kemudian dimuat.

Di antara figur wartawan berkemampuan semacam ini dapat mencontoh  Bob Woodward dan Carl Bernstein dari Washington Post yang mengungkap skandal Watergate, yang menyebabkan Presiden AS Richard Nixon mengundurkan di tahun 1974. Kedua wartawan itu kemudian memenangkan penghargaan Pulitzer.

Skandal Watergate
itu berupa penyusupan staf Nixon ke markas besar Komite Nasional Partai Demokrat di kompleks Kantor Watergate di Washington, DC pada 17 Juni 1972. Penyelidikan yang dilakukan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) dan kemudian oleh Komite Watergate Senat, House Judiciary Committee, dan pers mengungkapkan bahwa pencurian ini adalah salah satu dari banyak kegiatan ilegal yang dilaksanakan oleh staf Nixon.

Wartawan juga mengungkapkan lingkup kejahatan dan pelanggaran sangat besar lainnya, termasuk kampanye penipuan, spionase dan sabotase politik, audit pajak yang tidak semestinya, dan penyadapan ilegal pada skala besar.

Yang terbaru apa yang dilakukan wartawan investigasi The New York Times David Stephenson Rohde yang mencari informasi di daerah-daerah berbahaya. Ia telah pergi ke Afghanistan dan Irak untuk menulis upaya menciptakan perdamaian dan keamanan di negara-negara itu. Dia menulis penderitaan atas orang-orang yang ditahan dan dibebaskan dari pusat tahanan militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba.  Selama tahun 2004 dan 2005 ia menulis panjang lebar tentang perlakuan terhadap tahanan di penjara Abu Ghraib yang terkenal di Baghdad dan di Pangkalan Udara Bagram di Afghanistan.

Pada November 2008 ketika melakukan riset untuk sebuah buku di Afghanistan, ia dan dua rekannya diculik oleh anggota Taliban. Pada bulan Juni 2009 Rohde dan salah satu rekannya berhasil melarikan diri dari tahanan.

Selama ditawan, kolega Rohde di The New York Times mengimbau kepada anggota lain dari media massa untuk tidak membuat tulisan yang berkaitan dengan penculikan tersebut. Blackout media tentang penculikan Rohde telah menyebabkan perdebatan di kalangan media, antara kepentingan keselamatan nyawa Rohde dan tanggung jawab menuliskan berita kepada masyarakat.

Atas tulisan-tulisan Rohde di Afghanistan itu, pada bulan April 2009 mendapat penghargaan Pulitzer yang kedua kalinya. Pulitzer pertama diperolehnya pada pada tahun 1996 ketika meliput dan mengungkapkan pembantaian masal muslim Bosnia di Srebrenica.

Dalam aktivitas peliputan ini ia sempat ditawan tentara Serbia dan disidangkan di Serbia-Kroasia  tanpa didampingi penterjemah, pengacara, dan perwakilan diplomatik AS, sebagaimana ditentukan Konvensi Wina. Upaya pembebasannya kemudian dilakukan pemerintah AS dengan menekan pemerintah Bosnia Serbia.

Atas liputan Rohde di Bosnia, wartawan Henry Porter dari Inggris berkomentar, “liputan-liputan saat perang sipil di Bosnia sangat berbahaya, para wartawan tidak bisa mencegah rejim Milosevic yang begitu bernafsu, kecuali Rohde yang berani mengambil resiko mengungkapkan pembantaian masal atas ribuan orang muslim di Srebrenica. Pembantai besar-besaran itu mungkin tidak akan terungkapkan tanpa kehadiran David Rohde yang sangat pemberani.”

Keberanian para wartawan investigasi ini berangkat dari curiousity atas fakta-fakta yang terpendam, terutama terhadap kasus-kasus yang besar. Mereka bekerja dengan profesional untuk mengungkapkan kebenaran kepada masyarakat. Teknik peliputan yang sama mestinya juga dapat dilakukan wartawan di tanah air, dengan cara-cara yang benar, profesional, dan tidak bersinggungan dengan persoalan-persoalan sensitif di masyarakat.

Untuk kasus peliputan terorisme ini, Zainal Arifin Emka memberikan pandangan, polisi memang nara sumber yang punya otoritas untuk dikutip keterangan atau pernyataannya. Tapi wartawan harus juga bersikap skeptis. Selalu ada keinginan untuk menguji kebenaran. Tidak asal telan saja.

“Polisi kan juga manusia yang bisa salah duga, salah sangka, bahkan salah tangkap, seperti terjadi dalam beberapa kasus. Janganlah kita menghukum orang yang tidak bersalah dan wartawan ikut memperteguhnya karena sikap serampangan dalam liputan. Wartawan perlu dididik untuk tidak main gebyah uyah, menggeneralisasi,” katanya.

Ia mengatakan, di zaman Orde Baru pers kita tidak kritis karena alasan dikekang kebebasannya. Sekarang setelah bebas, ternyata pers kita tidak beranjak dari kungkungan, bahkan dalam kasus terorisme kehilangan sikap kritisnya. “Setidaknya ada hasrat untuk menguji kebenaran suatu informasi. Alasan saya sederhana saja. Masyarakat kita makin pinter, masak wartawannya tidak belajar. Naif sekali kalau wartawan atau media menganggap masyarakat bisa dibodohi,” ujarnya.

Menurut Mashadi, pemberitaan kasus terorisme menunjukkan media massa, khususnya televisi, tidak berada dalam posisi yang obyektif. “Banyak pemberitaan media yang sudah menyimpulkan persoalan sebelum ada pembuktian dari pihak kepolisian,” jelasnya.

Akibatnya, kata Mashadi, banyak pihak dirugikan. Seperti dialami keluarga Nurhasbi alias Nursahid. Dalam pemberitaan Nurhasbi dituduh sebagai pelaku pengeboman. Setelah tes DNA, tuduhan itu tidak terbukti.

“Meski melegakan karena terbebas dari tuduhan, tapi nama keluarga besar Nurhasbi telah tercoreng oleh stigmatisasi yang dibangun media.”

Sayangnya, tambah Mashadi, sampai detik ini belum ada satu media pun yang mengklarifikasi dan meminta maaf kepada keluarga Nurhasbi.

“Saya kira keluarga Nurhasbi dan korban-korban lainnya berhak memperkarakan media-media yang telah melakukan stigmatisasi,” jelas lelaki yang juga sebagai Ketua Forum Umat Islam (FUI) ini.

Begitulah. Barangkali pers di Indonesia masih perlu bersikap arif dan profesional. Jika di masyarakat yang mayoritas non-muslim semacam di Filipina saja (lihat tulisan: Pers Mengejar Rating, Kaum Muslim Pun Tersakiti) pers bisa berniat bertenggang rasa terhadap masyarakat muslim yang minoritas untuk masalah-masalah sensitif, mengapa di negeri ini yang mayoritas muslim dan pers telah berada di alam reformasi, masih bekerja asal srundhal-srundhul dan sepak sana-sepak sini? Agaknya pers perlu introspeksi diri dalam melakukan pekerjaannya.
 
Sumber : www.hidayatullah.com

1 comment:

  1. memang sepertinya media kita sedang berada di fase euforia dan kadang berita yang disajikan kurang berimbang dan kadang sangat "berlebihan"..dalam kasus terorisme misalnya,explorasi hingga ke keluarga dan detail pemakaman sepertinya tidaklah begitu perlu..parahnya lagi kasus dengan malaysia,sepertinya media mempunyai peran besar membuat situasi semakin panas...


    THINK OUT OF THE BOX

    ReplyDelete

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...