Friday, March 18, 2011

"Struggling to Surrender" *)

Penulis,
Segera setelah menjadi muslim, Jeffrey Lang menyadari bahwa persoalan yang dihadapi-nya bukannya selesai, melainkan justru baru dimulai. Dulu, profesor matematika ini berjuang untuk menemukan Tuhan yang masuk akal  dan masuk hati. Perjuangan itu telah membawanya berkelana ke berbagai mazhab dunia: rasionalisme, agnotisisme, dan ateisme. Dan, lewat pertemuan kebetulan dengan seorang mahasiswanya yang muslim, ia akhirnya menemukan Islam.

Sekarang, setelah masuk Islam, Dr. Lang menghadapi tantangan baru. Ia kini harus menyesuaikan diri dengan komunitas barunya, dengan segenap keyakinan dan tradisi baru, dengan pandangan-dunia dan gaya hidup Islam. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya rasio dan bukannya tradisi, Lang harus berjuang keras untuk mengerti (dan menjelaskan) mengapa agama (Islam) harus disertakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Mengapa pula apa yang diidealkan Alquran begitu jauh dari realitas kehidupan muslim? Bagaimana menghadapi tuntutan taklid-buta terhadap berbagai hadis dan tradisi, seperti yang diserukan sejumlah orang Islam? Bagaimana dengan status wanita, yang sering menjadi sasaran utama serangan nonmuslim terhadap Islam? Dan berbagai pertanyaan lain yang langsung menyergapnya.

RESUME :Alquran memperingatkan orang-orang mukmin akan potensi kehancurannya pada banyak  menggambarannya mengenai orang-orang munafik, penipu, pengecut, dan orang-orang kikir. Maksud dasar dari peringatannya ini adalah supaya orang-orang mukmin selalu memeriksa niatnya yang sesungguhnya. Hal ini juga merupakan suatu "peringatan" (21:84; 69:48; 74:31) yang menyadarkan pembaca akan dirinya yang sebenarnya.

Ketika Nabi Muhammad menggambarkan pengalaman pertamanya menerima wahyu, beliau berkata bahwa seorang malaikat menampakkan diri di hadapannya, memeluk beliau, dan kemudian mengguncang-guncangkan beliau sambil menyuruh beliau untuk "membaca". Beliau menjawab bahwa beliau tidak dapat membaca karena buta huruf. Lagi-lagi malaikat itu memeluk, menggoncang, dan menyuruh beliau untuk membaca.

Dengan putus asa, jawaban beliau masih sama. Setelah yang ketiga kalinya, Nabi Muhammad merasakan pencerahan batin yang kuat dan mengerti bahwa beliau harus membaca, yang memang beliau lakukan --empat ayat pertama dari surat ke-96 (Al Alaq). Episode dalam kehidupan Nabi ini serupa dengan pengalaman membaca Alquran: di dalam beberapa bagiannya Alquran memberi pencerahan, pada bagian lain Alquran memberi ancaman, dan pada bagian lain lagi Alquran merangkul dan memberi ketenangan.

Shalat, puasa, zakat, dan haji menopang seorang individu dalam seluruh perjalanan hidupnya.
 Aktivitas ibadah ini mengingatkan dia akan tujuan hidupnya dan membantu dia membangun kekuatan batin, keteguhan hati, dan karakter yang dibutuhkan untuk menjalaninya. Ketika seseorang yang dibesarkan di Barat pertama kali menjadi muslim, ia sering kali merasa seperti merangkak ke suatu sudut tertentu. Tiba-tiba, ia harus menghadapi rasa tidak percaya, keterkejutan, bahkan terkadang penolakan keluarga, teman-teman, dan rekan-rekan sekerja. Ini mungkin disebabkan oleh kesalahpahaman dan antagonisme Barat selama berabad-abad terhadap Islam dan kesan umum yang negatif yang ditampilkan media Barat tentangnya. Inilah salah-satu masa yang paling sulit bagi seorang yang baru masuk Islam.

Bagi saya sendiri, shalat terasa sebagai penolong dan penghibur yang utama.
Shalat subuh adalah yang paling utama. Salat subuh adalah yang paling banyak menuntut kesabaran, dan saya merasa hampir mustahil menyeret diri saya sendiri dari tempat tidur setiap pagi pada pukul 5:00 sampai akhirnya saya temukan cara yang berhasil guna. (Catatan kaki: Bagi saya, salat subuh di mesjid adalah salah satu ritual Islam yang paling indah dan paling menggetarkan. Ada sesuatu yang bersifat mistik ketika kita bangun manakala orang lain tertidur dan mendengarkan alunan Alquran mengisi kegelapan. Seolah-olah Anda meninggalkan dunia ini untuk sementara waktu dan berkumpul dengan para malaikat untuk memuji Allah sebelum fajar berakhir.)  Saya meletakkan tiga jam weker dengan jarak tertentu, yang disetel dengan selang lima menit, antara tempat tidur saya dan kamar mandi. Ketika jam yang pertama berdering di samping tempat tidur saya pada pukul 4:50 pagi, saya tekan tombol shut-off-nya dan, seperti biasa, saya pun tertidur kembali. Lima menit kemudian, jam yang terletak di tengah antara tempat tidur dan kamar mandi berbunyi, dan saya praktis akan merangkak ke arah jam itu, mematikannya dan kemudian jatuh tertidur di sampingnya. Ketika jam yang terakhir yang terletak di dekat kamar mandi berbunyi lima menit kemudian, saya akan berjuang keras menghampirinya dan mematikannya dan, karena saya sudah begitu dekat dengan tempat air, saya akan berdiri dan membasuh diri untuk salat.

Saya merasa bahwa menaklukkan keinginan untuk tidur saya di setiap pagi hari itu menjadi sumber kekuatan yang besar.
Saya merasa jauh lebih siap untuk menghadapi rasa tidak aman saya. Saya katakan kepada kawan-kawan saya bahwa apa pun kepercayaan mereka, jika mereka dapat mendisiplinkan diri untuk bangikit dari tempat tidur setiap pagi pada pukul lima, mereka akan merasakan bahwa tak ada tantangan yang lebih berat [lagi darinya].Sebagaimana terbukti kemudian, setelah beberapa minggu, saya hanya membutuhkan dua jam weker, dan tak lama kemudian saya sudah menguranginya menjadi satu saja. Setelah itu, bahkan bila saya lupa memasangnya, saya tetap akan bangun tepat waktu. Sementara seluruh ibadah ritual Islam memiliki unsur pengujian dan pembentukan karakter seperti ini, ritual-ritual tersebut lebih dari pada sekedar (untuk) itu.

Setelah merasakan euforia pindah agama, datanglah tahapan di mana ibadah-ibadah ritual menjadi rutin dan memberatkan. Dan, seperti yang saya katakan sebelumnya, orang-orang yang baru beriman akan bercerita bagaimana mereka merasakan hal-hal tersebut sebagai ujian yang penting dan faktor yang memperkuat kemauan. Kemudian, mereka akan bercerita bagaimana ibadah-ibadah itu tidak begitu menjadi upaya pendisiplinan diri dan lebih merupakan pengalaman akan rasa damai; dan bahwa ini menjadi dorongan utama mereka untuk melakukan salat, berpuasa, dan melaksanakan ibadah-ibadah ritual lainnya.

Pada tahap yang lebih jauh lagi, dan ini bersesuaian dengan upaya keras mereka setiap hari secara terus-menerus untuk memperbaiki diri, mereka akan mengatakan bahwa ibadah-ibadah ritual itu, khususnya salat, telah menjadi pertemuan spiritual dan emosional yang sangat kuat--suatu masa di mana mereka benar-benar merasakan kehadiran Tuhan, di mana ibadah ritual itu kini lebih merupakan tindakan cinta, rangkulan Ilahi, dan bahwa cintalah yang kemudian mendominasi hidup mereka. Bagi orang-orang Islam, ibadah-ibadah ritual adalah sebuah pintu menuju nafas kehidupan, suatu kehidupan yang lebih nyata dan lebih hidup daripada apapun di muka bumi, dan akhirnya dahaga akan kehidupan dan cinta Ilahi ini menaklukkan mereka.

Akan tetapi, ibadah dalam Islam cakupannya luas, melampaui ibadah-ibadah ritual itu.Seperti halnya dengan begitu banyak konsep-konsep Islam, esensi ibadah itu tercakup di dalam bentuk akar kata bahasa Arabnya. Istilah Islam untuk ibadah adalah 'abada, yang berasal dari kata 'abd (secara harfiah "budak"). Tujuan ibadah adalah komitmen total untuk menyembah Allah. Implikasi utamanya terungkap di dalam bentuk negasinya. Penyembahan berhala adalah memperbudak diri kepada sesuatu selain Allah, dan konsekuensinya adalah kehancuran diri.

Ketika Alquran berkata "pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?" (25:43), Alquran sedang menggambarkan seseorang yang telah menjadi budak hawa nafsunya. Begitu pula, Alquran menampilkan banyak contoh individu-individu yang telah menjadi budak kekuasaan, keserakahan, tradisi, kesombongan, kekayaan, berbagai jenis nafsu, dan manusia lain. Menjadi budak dari salah-satu tuhan palsu ini, membiarkan hasrat terhadap hal-hal ini menandingi ibadah bagi Allah semata, adalah berpaling dari pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan diri menuju penindasan dan pengrusakan diri. Kedamaian dan kebahagiaan sejati manusia terletak pada penyaluran potensi dirinya ke arah penghambaan pada Allah dan tidak pernah kehilangan kesadaran terhadap tujuan ini. Seorang muslim tidak memandang penyerahan dirinya kepada Allah sebagai suatu kekalahan atau penghinaan diri; ia melihatnya sebagai satu-satunya jalan kepada kemerdekaan dan hakikat diri yang sejati.

Dengan demikian, bagi orang-orang Islam, Islam lebih daripada agama. Islam merupakan sebuah sistem petunjuk: ke dalam terhadap dirinya yang sejati dan ke luar terhadap hubungan kemanusiaannya, dengan kembali kepada Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Setidak-tidaknya tujuh belas kali sehari sepanjang lima kali salat ia meminta kepada Allah "tunjukkan kepada kami jalan yang lurus -jalan menuju kedamaian batin. Jika jalan itu ditemukan, maka terbentanglah sebuah perjalanan menuju kebahagiaan besar yang kuat, indah, dan tenteram dalam kehidupan di dunia ini dan menuju kebahagiaan yang jauh lebih besar lagi di akhirat kelak. Maka, hidup adalah suatu perjuangan dan pencaharian terhadap penyerahan diri (aslama) yang indah, agung, dan sangat manis. Setiap pribadi manusia, sadar atau tidak, rindu akan penyerahan diri Islam.
  _____
*) Dikutip dari buku "Struggling to Surrender" (Pergumulan Menuju Kepasrahan) oleh Jeffrey Lang --seorang profesor matematika di Universitas Kansas, AS. Penerbit (terjemahan) Serambi, 2000.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...