Wednesday, February 6, 2008

Budaya sehat

Berhenti merokok, No Way!

Berhenti merokok tidak semudah yang kita bayangkan, apalagi banyak alasan yang melegalkan seseorang untuk tidak berhenti merokok. Disamping itu para perokok berat merata berbagai lapisan masyarakat tanpa pandang bulu mulai dari pelajar, intelektual, kyai/ustadz, para pendidik, termasuk pemerintah itu sendiri yang terlihat setengah hati untuk menghentikan budaya merokok dimasyarakat, sangat berbeda dengan perhatian terhadap pemberantasan narkotika. Pencandu narkotika diawali dengan akarnya merokok, boleh setuju atau tidak.

Dikeluarga, seorang anak akan dihajar habis kalau ketahuan merokok dan disusul dengan dilegalkan oleh orang tua, “boleh merokok kalau sudah bekerja”. Seorang figur ayah memberikan contoh yang baik dengan merokok dihadapan si anak. Wajar kalau para perokok berat berasal dari keluarga yang juga perokok. Bahkan masyarakat kita menganggap tak lajim kalau ada seorang pria yang tidak merokok, seolah merokok menjadi ukuran budaya dan kepribadian lelaki sejati seperti ditayangkan iklan-iklan rokok. Pemerintah kitapun terasa berat kalau rokok dianggap ancaman berbahaya, apalagi dijadikan sebagai pembunuh paling kejam didunia dengan alasan ekonomis. Rokok penyumbang pajak yang tinggi bagi pemerintah, rokok juga donator yang rajin membiayai kegiatan olah raga ditanah air selain membantu menampung tenaga kerja yang luar biasa sekali.

Perusahaan rokok sendiri juga mencoba mensiasati dengan mengurangi kadar nikotin dan tar seperti yang dipelopori HM Sampoerna yang meluncurkan produk Sampoerna A Mild tahun 1989 dengan dalih dimasa depan konsumen akan lebih sadar akan kesehatan yang ternyata sukses dengan produk terbarunya dan diikuti Bentoel dan Djarum. Usaha lain dari perusahaan rokok seperti adanya rokok filter, mint dengan tujuan melegalkan produk rokok biar bias bertahan sebagai salah satu budaya modern, sehingga gencarnya iklan rokok dengan beragam karakter unik dan jok iklan yang sangat menarik dan saya sendiri punya keinginan kalau suatu waktu budaya merokok tidak popular lagi dikalangan anak muda dan masyarakat.

Di disekolah tempat penempaan karakter seseorangpun biasa dijumpai kalau siswa ketahuan merokok akan habis dihajar guru dengan menyuruh merokok berbungkus-bungkus. “Biar dia kapok”, katanya. Tapi kenyataan ironisnya mayoritas para pendidik kitapun tak jauh berbeda tidak bisa lepas merokok sehabis mengajar. Begitu juga para kyai terlihat balelol ketika ada yang bertanya, “Bagaimanakah sebenarnya hukum merokok menurut agama, kyaia?” jawabnya pasti dengan sebuah fatwa sederhana. Makruh hukumnya atau sebagian juga mengfatwakan mubah atau boleh, saat sebagian ulama yang lain mengatakan haram hukumnya. Alasan pelegalan merokok makruh, mubah dengan asumsi sendiri karena kyai sendiri juga memang seorang perokok berat dan itu jadi jurisprodensi tidak tertulis kalau merokok itu boleh. “Wong kyai saja merokok, Mas!” ungkapnya.

Legalitas kyai, contoh keluarga dan pendidik serta sikap setngah hati pemerintah serta nilai ekonomis para pengusaha jelas sebagai pembuat pondasi dasar betapa sulitnya untuk menghentikan budaya merokok ini dimasyarakat, sehingga perlu adanya sosialisasi akan bahaya merokok yang tidak main-main, bukan sekedar peringatan iklan rokok yang tidak pernah digubris masyarakat. Mungkin kita perlu meniru PKS salah satu partai yang sulit menemukan kadernya itu merokok termasuk para anggota dewannya.


No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...