Tuesday, May 13, 2008

Ini Dia Gaya Berlibur Turis Arab


Di Puncak, turis-turis Timur Tengah menemukan surga dunia: pemandangan hijau, banyak bunga, air mengalir, dan bidadari berseliweran.



Bunyi musik terdengar dari sebuah vila: bising, sejenis musik keras dengan irama dan lirik padang pasir. Sebuah jendela yang gordennya terbuka mengungkapkan suasana ruang tamu vila yang bising itu. Di bawah lampu nan terang, seorang perempuan berdiri di hadapan seorang pria sambil meliuk-liukkan badannya seirama nada. Kedua tangannya terentang ke atas, pinggulnya diputar-putar. Memang, tak sedahsyat goyang Inul, penyanyi dangdut yang ngetop akhir-akhir ini.

Tapi ada yang lebih memicu aliran darah dari sekotak pemandangan lewat jendela itu: setidaknya, tubuh bagian atas penari itu tak ditutup apa pun. Sebelum segalanya jelas, rupanya penghuni vila menyadari gorden yang terbuka. Tiba-tiba jendela itu pun ditutup.

Para pengintip yang berada di teras sebuah kamar di lantai dua Hotel Jayakarta, Puncak, Jawa Barat, pun kecewa. Mereka adalah wartawan TRUST. Di pertengahan Februari lalu itu, mereka meliput kawasan tersebut, desa yang dikabarkan pada bulan tertentu menjadi Kampung Arab dengan segala gaya berlibur turis Timur Tengah.

Kampung Arab? Nama asli kampung itu sendiri yakni Kampung Sampay, satu dari tiga kampung di Desa Tugu Selatan, satu kilometer di atas Taman Safari, Cisarua, Bogor. Dari Jakarta, jarak menuju kampung ini sekitar 84 kilometer.
Tapi, kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab, mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba memahami arah pertanyaan akan menjawab: O, maksudnya Warung Kaleng?
Benar, lebih dari Kampung Sampay, lebih dari Kampung Arab, nama Warung Kaleng dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir taksi di Bandara Soekarno-Hatta. Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.

Warung Kaleng sebenarnya adalah sepotong Jalan Jakarta-Puncak di kilometer 84, tak lebih dari 50 meter panjangnya. Di kanan-kiri jalan, berjajar 30-an warung. Ini yang unik, papan-papan nama warung itu bukan hanya berhuruf latin dengan kata-kata bahasa Indonesia, tapi juga (bahkan ada yang hanya) papan nama berhuruf Arab, dari wartel sampai toko roti, dari toko kelontong sampai rumah makan. Dan yang juga khas dibandingkan kampung lain, di sini banyak terlihat warga bertampang Timur Tengah.

BIDADARI-BIDADARI
Nama Warung Kaleng sudah menjadi nama alternatif bagi Kampung Sampay sejak zaman kolonial Belanda. Dulu, kawasan itu secara administratif adalah tanah partikelir, yang kemudian dijadikan basis perdagangan oleh pedagang pendatang dari Cina. Lambat laun, para pedagang itu berasimilasi dengan penduduk setempat, lantas masuklah Islam.

Kata penduduk setempat, riwayat nama Warung Kaleng bermula dari warung-warung yang didirikan oleh para pedagang Cina itu: hampir semua warung beratap seng atau kaleng. Jadilah sepetak lahan itu kemudian di sebut Warung Kaleng.
Nama itu tetap melekat meski suasana Cina praktis tak tercium lagi dan atap seng tak lagi terlihat. Kini, warung-warung itu bertembok dan sudah beratap genteng. Suasananya pun berganti ke-Arab-Araban. Belakangan, muncul sebutan baru itu: Kampung Arab—bukan hanya untuk sepetak Warung Kaleng, tapi juga untuk seluruh Kampung Sampay.

Jadi, melihat lokasinya, bolehlah dibilang Warung Kaleng merupakan gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar). Soalnya, sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).

Alkisah, di awal 1990-an, ketika Irak diserbu Amerika dan sekutunya, banyak turis Timur Tengah datang ke Kampung Sampay. Mereka menginap di vila-vila selama kira-kira satu minggu hingga satu bulan. Di tahun-tahun sebelumnya, turis Arab juga sudah datang ke Kampung Sampay, namun tak banyak.
Dikenalnya Kampung Sampay oleh turis Arab tentunya dimakcomblangi biro-biro pariwisata, terutama biro yang berkantor di sepanjang Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.

Tapi kenapa Kampung Sampay? Konon, turis-turis dari padang pasir itu merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk dan hijau. Lalu, dibawalah mereka ke kawasan Puncak, dari Cisarua sampai Cipanas. Bila kemudian Warung Kaleng menjadi terpopuler di antara turis Arab, ada ceritanya.

Menurut Syaiful Idries, Kepala Urusan Administrasi Desa Tugu Selatan, gambaran orang Arab tentang surga dunia itu adalah jabal ahdor atau gunung hijau. Di Kampung Sampay, kata Syaiful, mereka menemukan jabal ahdor itu. Di Puncak ini kan banyak bunga, air mengalir, lingkungannya hijau dan indah,tuturnya.

Tapi kalau hanya gunung hijau, bukan hanya Kampung Sampay yang punya. Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari, dan secara sosial lingkungan di sini longgar warganya tak begitu peduli dengan urusan orang lain. Jadi (Syaiful melanjutkan ceritanya sambil tertawa), bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor, tapi juga jabal al jannah, gunung surga. ˜Bidadari-bidadari itu didatangkan dari desa lain yang cukup jauh, paparnya.

MERACUNI ANAK-ANAK
Singkat cerita, kerasanlah turis-turis itu berlibur di jabal al jannah. Bahkan, secara sosial keagamaan, suasana di sini pun okey: ada suara azan berkumandang saat menjelang salat wajib. Di Kampung Sampay, ada tiga pondok pesantren, dan ada pula satu pesantren baru yang sedang dibangun.

Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir. Lihatlah Haji Samsudin, 65 tahun, yang sedang memimpin pendirian sebuah pondok pesantren baru di Kampung Sampay ini, namanya Pondok Sikoyatun Najah.
Menurut Wak haji ini, sebagian biaya calon pesantrennya diperoleh dari sumbangan turis Arab. Di sebuah lorong di belakang Warung Kaleng, terpasang spanduk dalam tulisan dan bahasa Arab, yang artinya kurang lebih begini: Kami sedang membangun gedung untuk pondok pesantren di sini, mohon sumbangannya. Dengan bahasa dan huruf Arab, jelaslah sasaran spanduk itu. Lantas, Nanang Supriatna, salah seorang Ketua RT di Kampung Sampay, mengatakan: Enggak ada Arab, enggak hidup ekonomi orang-orang sini.

Nanang yang sehari-hari berjualan kambing, pada Idul Adha yang lalu berhasil menjual 11 kambing. Kalau enggak ada Arab, kambing saya paling-paling laku dua ekor, tuturnya kepada TRUST. Dan ternyata bukan hanya 11. Begitu ia selesai bertransaksi untuk kambing yang ke-11 dengan Samid (mahasiswa Arab Saudi yang menginap di Vila Barita), datang pesanan dua kambing lagi dari turis Arab yang menginap di Aldita, vila pertama di daerah itu.

Tapi tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan ahlan wasahlan kepada tamu-tamu Timur Tengah itu. Haji Ichwan Kurtubi, 55 tahun, seorang tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat perilaku para turis itu. Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab kawin, walinya diambil dari sekitar-sekitar sini,ucapnya.
Menurut Haji Ichwan, pernikahan baru sah bila dihadiri wali yang sah menurut Islam. Mereka itu meracuni anak-anak muda di sini, katanya seraya melampiaskan kemarahannya.

VODKA DI TANGAN KANAN
Tapi, anak-anak muda yang dijaga oleh Haji Ichwan itu sendiri tak peduli. Mereka dengan senang mengadakan ini dan itu untuk para turis. Dan dengan begitu—mulai sebagai pemandu wisata, mencarikan kambing korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi preman penjaga keamanan—mereka mendapatkan penghasilan. Kata Haji Ichwan: Ulama di sini sudah kalah sama anak-anak muda itu.

Sedangkan Zaki al-Habsy, pengelola gerai penukaran uang di Warung Kaleng, mencoba bersikap realistis. Yang tidak suka dengan turis-turis Arab itu hanya orang-orang yang tidak berbisnis melayani mereka, kata Zaki yang juga agen perjalanan itu.
Sebenarnya, di balik ketenangan hijaunya bukit dan pepohonan Kampung Sampay, ada keresahan yang tersembunyi. Perilaku dan gaya berlibur lelaki-lelaki dari padang pasir itu—yang eksklusif dan tertutup bagi siapa saja, kecuali terhadap orang-orang yang mereka butuhkan—selain melahirkan kecemburuan, juga menimbulkan ketersinggungan.
Benar, wanita-wanita yang mereka datangkan bukan warga Tugu Selatan. Yang terlihat dari jendela itu, misalnya yang diminta menari striptease atau tari perut, konon, adalah perempuan dari Cianjur, 20-an kilometer dari Tugu. Tapi, menurut Haji Ichwan, suasana seperti itu di depan mata mereka adalah racun buat generasi muda. Apalagi, setidaknya, ada dua turis Arab meninggal di salah satu vila di Kampung Sampay selagi berpesta pora. Orang Arab kan sudah terkenal dengan pemeo: vodka di tangan kanan dan cewek di tangan kiri, kata Abubakar Sjarief, Kepala Desa Tugu Selatan.

Dan sebenarnya, Abubakar melanjutkan, yang mendapat rezeki dari turis Arab hanya beberapa orang saja. Pokoknya, rezeki (dari para turis) itu tidak berimbang dengan mudaratnya. Secara umum, ke depan, kami dirugikan,ungkapnya.
Memang, di luar tukang ojek, penjaga malam, tukang masak di vila, dan preman penjaga keamanan kampung, semua lahan usaha yang berhubungan dengan Arab dijalankan oleh pendatang. Kendati warga setempat bisa berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang pengurusnya adalah pendatang.
Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah”terutama dari Solo dan sekitarnya”dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang.
Namun, soal rezeki ini tak pernah muncul ke permukaan sebagai konflik sosial. Konflik yang pernah terjadi adalah konflik moral. Tahun lalu, sejumlah santri”mulai dari Ciawi hingga Cisarua”menyerbu diskotek dan tempat mesum lain di kawasan Tugu Selatan. Gebrakan itu sampai sekarang masih terasa. Menurut Abubakar, sejak saat itu, wisata berbau seks di wilayah tersebut agak mereda. Turis Arab memang masih datang, tapi musik bising dari vila-vila jauh berkurang.

Menurut seorang pemandu wisata di situ, untuk sementara
mereka membawa turis Arab ber-dugem ke tempat lain: Cipanas, bahkan sampai ke Selabintana. Tapi, bisa jadi, wanita yang menari-nari di tempat menginap sama saja dengan perempuan yang terlihat dari jendela itu. Soalnya, nomor telepon genggam mereka sudah ada di tangan para calo. Jadi, kapan saja, per-empuan itu bisa dihubungi, baik secara langsung maupun dengan SMS.
Sumber : warta economi

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...