Saturday, May 24, 2008

TEPATKAH KEPUTUSAN PEMERINTAH MENAIKKAN HARGA BBM DEMI SELAMATKAN APBN?

Dilema Kebijakan Ekonomi * 
Oleh : Muhammad Chatib Basri, Direktur LPEM
FEUI

Pagi ini mungkin baik kita mengingat kalimat kuno dari mantan Presiden
Perancis Charles De Gaulle, to govern is always to choose among
disadvantages (memerintah berarti memilih di antara pilihan yang tak
menyenangkan). Pilihan kebijakan memang jadi semakin sulit.
Kenaikan konsumsi energi telah mendorong peralihan produksi dari
makanan kepada biofuel. Perubahan iklim juga telah mengakibatkan
produksi pangan dunia menurun. Dapat diduga, harga komoditi melonjak
seiring dengan naiknya harga energi. Untuk menjamin pasokan dan harga
domestik, beberapa negara lalu memutuskan melarang ekspor. Tak salah
memang. Namun, bila sebagian besar negara memilih langkah ini,
ketersediaan pangan di pasar dunia akan semakin terbatas, akibatnya
harga akan semakin melangit. Situasi eksternal yang tak bersahabat ini
tampaknya masih akan bersama kita kedepan. Indonesia, juga berada
dalam yang amat dilematis. Tekanan harga minyak dan komoditi membuat
beban subsidi pemerintah melonjak dan stabilitas makro dipertanyakan.
Kita punya dua soal, pertama, bagaimana menjaga daya beli kelompok
miskin akibat tekanan kenaikan harga pangan? Kedua, bagaimana menjaga
stabilitas ekonomi makro?

Pertama, perhitungan dari data SUSENAS menunjukkan bahwa porsi
pengeluaran untuk makanan di kelompok yang paling miskin (decile 1)
adalah sebesar 29.5% dari total pengeluaran mereka. Sedangkan di kelas
menengah keatas hanya sebesar 16.1%. Artinya kenaikan harga makanan
akan sangat memukul mereka yang miskin. Itu sebabnya bantuan atau
subsidi kepada penduduk miskin harus dilakukan. Sayangnya, anggaran
terbatas. Kalau begitu, mengapa pemerintah tidak mengurangi sedikit
subsidi premium dan mengalihkannya kepada makanan? Porsi konsumsi
premium jelas lebih kecil dibanding porsi konsumsi makanan di dalam
keranjang konsumsi penduduk miskin. Mekanismenya, bisa melalui program
cash for work, dimana pemerintah menyediakan lapangan kerja, dalam
periode waktu tertentu, bagi penduduk miskin melalui program
pembangunan infrastruktur desa seperti irigasi dalam skala kecil,
konservasi tanah, pembangunan jalan desa atau program reforestation,
Bantuan Langsung Tunai, subsidi pangan seperti raskin.

Kedua, dalam kaitan stabilitas ekonomi makro, harga minyak yang tinggi
telah menimbulkan inflation overhang. Pelaku ekonomi menganggap:
dengan harga minyak dan komoditi yang tinggi, inflasi akan meningkat.
Selain itu akan ada tekanan yang kuat pada anggaran kita, sehingga
dibutuhkan pembiayaan yang lebih besar pula. Padahal kita tahu, dalam
situasi pasar keuangan dunia yang bergejolak seperti ini, pembiayaan
dari pasar tak mudah dan biayanya relatif lebih mahal. Ekspektasi
inflasi yang tinggi akan mendorong depresiasi. Akibatnya rupiah akan
melemah. Pelemahan rupiah yang tajam dapat menganggu stabilitas makro,
inflasi naik dan pertumbuhan ekonomi menurun.
Diskusi di Asian Economic Panel di Seoul juga mengingatkan, dalam
situasi ketidakpastian akibat krisis sub-prime, ketidakstabilan makro
dapat mendorong terjadinya arus modal keluar secara tiba-tiba. Ini
jelas berisiko. Karena itu pemerintah harus berupaya mengurangi
subsidi BBM. Ada dua cara, melalui pembatasan kuantitas seperti
program smart card dan subsidi terbatas kepada kendaraan angkutan umum
atau melalui mekanisme harga.
Pemerintah sendiri menyatakan kenaikan BBM adalah pilihan terakhir dan
lebih memilih pembatasan kuantitas. Sayangnya, kita tahu pembatasan
kuantitas membutuhkan administrasi dan pengawasan yang tinggi
–sesuatu
yang kerap kali pemerintah lemah. Pilihan smart card misalnya,
menuntut dilakukannya pendaftaran jutaan kendaraan. Bisa dibayangkan
betapa rumit proses administrasinya. Pilihan pemberian BBM bersubsidi
hanya kepada kendaraan angkutan umum juga tak kurang rumitnya:
kendaraan yang bukan angkutan umum harus membeli Pertamax yang
harganya nyaris dua kali lipat Premium. Artinya beban kenaikan harga
yang harus ditanggung masyarakat tinggi sekali. Bukankah ini jauh
lebih memberatkan? Selain itu apakah semua SPBU dapat menyediakan
Pertamax dalam waktu singkat? Di sini terlihat bahwa pembatasan
kuantitas amat sulit dilakukan dan lebih membebani masyarakat. Pilihan
rasional yang tersisa adalah melalui mekanisme harga. Secara
admnistrasi lebih mudah dan transparan. Dengan kebijakan ini ada
beberapa hal yang dapat diperoleh. Pertama, setiap kenaikan Premium
sebesar Rp 500 akan meningkatkan penerimaan pemerintah sebesar Rp 9
trilyun yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan daya beli
penduduk miskin. Kedua, kenaikan harga akan menurunkan insentif untuk
penyelundupan. Selain itu -walau terbatas- kenaikan harga juga akan
mengurangi konsumsi BBM. Menurunnya penyelundupan dan konsumsi akan
membuat impor BBM menurun. Akibatnya rupiah akan menguat. Penguatan
rupiah akan membuat inflasi dapat dikendalikan.
Dari perspektif ekonomi makro, pilihan ini akan mengatasi problema
inflation overhang. dan mengembalikan stabilitas ekonomi makro. Tentu
pilihan ini ada dampaknya. Kenaikan harga Premium dan solar sebesar
10% misalnya akan meningkatkan inflasi sekitar 1%. Jika kenaikan tidak
terlalu besar, dampak pada inflasi terbatas. Kenaikan harga juga harus
dikompensasi dengan program untuk penduduk miskin, sehingga dampak
negatif dapat diatasi dan daya beli penduduk miskin yang terpukul
karena harga pangan, dapat di kompensasi.
Saya tahu, ini bukan pilihan mudah. Tetapi di hari-hari ketika situasi
eksternal tak bersahabat, kita memang dihadapkan pada pilihan sulit.
Pilihan ini mungkin terkesan tak populer, sebuah pilihan yang sepi,
tak ramai dijejaki orang. Mirip bait akhir puisi Rober Frost, The Road
Not Taken:

"I took the one less travelled by And that has made all the
difference".

* Tulisan ini dimuat di Analisis Ekonomi Kompas, Senin 28 April 2008.
foto: perspektif.net

Rizal Ramli Tantang SBY Debat Terbuka Soal BBM Oleh : Rizal Ramli,
Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia

Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia Dr. Rizal Ramli menantang Presiden
SBY untuk melakukan debat terbuka berkaitan dengan rencana pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Presiden diminta tidak
menghindar dari tantangan tersebut.
"Kalau perlu SBY menyertakan semua menteri ekonominya dalam debat
terbuka tersebut. Waktu dan tempatnya silakan SBY yang tentukan, asal
jangan terlalu lama sejak tantangan ini," kata Rizal Ramli yang juga
dijuluki Sang Lokomotif Perubahan dalam siaran persnya.
Dr. Rizal Ramli, Sang Lokomotif Perubahan

"Kehidupan rakyat sudah sangat berat. Kondisi sekarang sangat berbeda
dengan tahun 2005. Rakyat kini sudah babak belur dihantam kenaikan
harga pangan dan merosotnya pendapatan. Sementara omset UMKM anjlok
hingga 30-40%. Semua ini terjadi karena pemerintah tidak mampu
menstabilisasikan harga. Saya tidak habis mengerti, bagaimana mungkin
pemerintah mengabaikan kenyataan ini. Ini kok malah mau menaikkan
harga BBM lagi," tukas Rizal yang juga mantan Menko Perekonomian dan
Menteri Keuangan.

Fakta menunjukkan, dampak dua kali kenaikan BBM pada 2005 sampai
sekarang belum hilang. Jumlah orang miskin melonjak dari 31,1 juta
jiwa (2005) menjadi 39,3 juta jiwa (2006). Demikian pula inflasi naik
tajam 17,75% (2006). Jumlah penganggur naik dari 9,9% (2004) menjadi
10,3% (2005) dan naik lagi jadi 10,4% (2006). Di sisi industri,
kenaikan harga BBM telah mendorong percepatan deindustrialisasi. Pada
2004 sektor manufaktur masih tumbuh 7,2%, namun tahun 2007 hanya
tumbuh 5,1%. Ini terjadi karena industri ditekan dari dua sisi, yakni
peningkatan biaya produksi dan merosotnya permintaan akibat anjloknya
daya beli masyarakat.

Banyak Solusi Lain

Rizal Ramli mengaku sangat prihatin dengan pembentukan opini yang
dilakukan pemerintah dan berbagai lembaga penganut Jerat Washington
(Washington Consensus), bahwa seolah-olah kenaikan harga BBM adalah
langkah terakhir. Kalau saja pemerintah kreatif, mau dan berani,
sejatinya banyak alternatif lain untuk menyelamatkan APBN tanpa harus
menaikkan BBM. Beberapa langkah itu antara lain, mereformasi tata
niaga migas dan menghapuskan mafia impor migas.

"Telah menjadi rahasia umum, proses pengadaan dan distribusi BBM oleh
Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. SBY harus berani
menyikat mafia yang mengutip minimal US$2/barel dari impor minyak.
Kenapa ini tidak dilakukan?" katanya.

Masih seputar migas, cara lainnya dengan merevisi formula perhitungan
alokasi dana bagi hasil migas, meningkatkan mobilisasi dana alternatif
dengan melakukan berbagai langkah kebijakan burden sharing kepada
semua stakeholders baik pemerintah pusat, Pemda, kreditor kalangan
bisnis maupun masyarakat luas. Pemerintah juga diminta mengefektifkan
program anti kemiskinan, dan menyusun strategi diversifikasi energi.

Rizal Ramli juga menilai program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai
kompensasi bagi rakyat miskin untuk mengurangi dampak kenaikan BBM,
tidak akan efektif. Pemerintah mestinya belajar dari kegagalan BLT
pada 2005. Banyak kelemahan dari pelaksanaan program kompensasi.
Antara lain besaran BLT tidak memadai untuk mengurangi beban orang
miskin. Kendati BPS telah melakukan pendataan, tapi BLT juga banyak
yang salah sasaran. Diprediksi ada sekitar 15-20% keluarga miskin yang
tidak terjaring karena berbagai alasan.

"Tahun 2008, pemerintah SBY tanpa persiapan matang akan mengulang
program tersebut. Padahal koreksi terhadap data, program, dan
mekanisme belum dilakukan. Demikian juga data yang akan dijadikan
acuan adalah data yang telah out of date karena akan menggunakan data
penerima BLT tahun 2005. Dengan gambaran ini dapat dipastikan tingkat
efektivitas dari program BLT akan sangat rendah. Apalagi sejak 2006
muncul keluarga miskin baru yang belum terdata akibat berbagai
kebijakan ekonomi pemerintah SBY yang tidak berpihak kepada kelompok
masyarakat bawah," paparnya.

Dari kenaikan harga BBM, pemerintah berharap bisa menghemat subsidi
sekitar Rp 25 triliun-Rp 30 triliun. Jumlah ini sangat tidak berarti
dibandingkan dampak ekonomi dan sosial yang pasti akan dirasakan
masyarakat. Di sisi lain, ada pos pembayaran bunga obligasi rekap
perbankan puluhan triliun dan utang luar negeri yang jumlahnya ratusan
triliun. Ditambah dengan efisiensi di Pertamina dan PLN, akan banyak
dana yang bisa dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Rizal Ramli menilai SBY tidak berani melakukan renegosiasi dengan
kreditor untuk memperoleh penundaan pembayaran utang, tidak berani
mengurangi subsidi bank rekap, tidak berani memberantas mafia impor
BBM, dan tidak mampu mengurangi inefisiensi di Pertamina dan PLN.
"Jangan hanya beraninya kepada rakyat," tukas Rizal Ramli.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...