Sunday, August 23, 2009

Inang-inang, sosok wanita Batak



Ai tung so boi pe ahu laho da tu paredang-edangan. Tarsongon dongan-dongan hi da na lobi pancarian alai anggo anakkonhi da ndang jadi huhurangan. Anakkonhi do hamoroan di ahu……

Nang so tarihuthon pe angka dongan dongan. Ndada pla marsak ahu disi. Alai anakkonhi da ndang jadi hatinggalan, sian dongan magodang nai . Gogo pe ahu mancari arian nang bodari, laho pasingkolahon gellenghi. Aing ingkom marsingkola, do satimbo-timbona, sindat ni natolap gogokhi

Saya sangat kagum dengan wanita Batak, kokoh, kuat dan mau banting tulang bagi keluarganya. Dan saya juga pernah jatuh cinta dengan kekuatan itu, sehingga jangan kaget banyak lelaki dari suku lain yang menikah dengan wanita perkasa yang biasa disebut dengan istilah ‘Inang-inang” seperti dalam lagu khas Batak diatas.

Dan lagu ‘Inang-Inang’ tersebut diatas tidak terbatas pada kecintaan ibu pada anaknya, tetapi juga merupakan perwujudan nilai mengenai arti dan kedudukan anak serta watak kompetitif suku Batak. Nilai lain bahwa hidup tidak sekedar harta kekayaan semata, melainkan pada kualitas reproduksi generasinya, disitulah inang-inang bekerja siang malam. Bahkan pengertian Inang-inang ini dipersempit sebagai seseorang yang berusaha membawa barang dari singapura atau tanjung pinang ke Jakarta, citra dalam masyarakat Batak Toba-pun tidak selalu positif. Begitu penelitian Nurmala Kartini Pandjaitan dalam skripsinya berjudul : “Kegiatan dagang inang-inang : kedudukan dalam keluarga dan masyarakat batak Toba di Jakarta”, 1977. Kartini berpendapat bahwa umumnya orang Batak mengasosiasikan kalau inang-inang dengan kegiatan dagang berlayar.bahkan dianggap sebagai penyelundup, selain itu dikhawatirkan moral inang-inang ini, karena selama dalam pelayaran kerap tidur didekat yang bukan keluarga atau suami dan sisi lain pekerjaannya menyebabkan mereka mengabaikan tugas rumah tangga. Tapi itu dulu bagaimanakah pendapat sekarang ?

“Dan sejak dulu wanita Batak sumber ekonomi bagi pria. Masyarakat batak yang menganut system kekerabatan patrilneal, mengikuti garis pria, melihat wanita sebagai factor reproduksi. Makin banyak anak yang dilahirkan, keadaan ekonomi akan lebih baik. Sebab anak merupakan tenaga kerja, disamping prajurit dalam pperangan. Dalam setiap huta (kampung berdasarkan ginealogi) saja, rumah paling pinggir adalah dari keluarga wanita. Dengan demikian seandainya ada perang, pihak wanitalah yang paling awal berhadapan dengan musuh. Ini menunjukan bahwa anak perempuan juga dimanipulaskan”, begitu diungkapkan oleh Drs. B.A Simanjuntak, dosen IKIP medan tentang sosok wanita Batak.

Begitu juga kita lihat filsafat Batak yang instisarinya adalah hamoraon (kekayaan), hasangapon (terhormat) dan hagabeon (punya banyak anak), maka wanitalah sebenarnya yang mewujudannya. Ini bukan karena hanya ia melahirkan anak sebanyak-banyaknya, tetapi juga harus membesarkannya sehingga menjadi orang berhasil yang tercermin pada kekayaan dan terhormat. Bagi orang batak, terhormat tidak ada artinya kalau kantong kosong, sebaliknya harta berlimpah tidak ada artinya kalau tidak punya anak. Begitu pula kalau harta melimpah dan anak banyak, tetapi mempunyai cacat dimata masyarakat.

Tetapi dari dulu wanita Batak memang hampir menjadi sapi perahan. Mereka melaksanakan tugas rumah tangga disamping berladang. Sebaliknya pria lebih suka minum-minum, ngobrol, sabung ayam dan memperdalam perdukunan, suami bisa merantau berbulan-bulan. Ini artinya wanita harus memikul beban rumah tangga. Kenapa persepsi itu terjadi, bisa jadi adanya penyimpangan kosep raja. Bagi orang batak, semua pria merasa dirinya raja. Ini hanya karena moyang mereka membuka huta dan kemudian disebut raja huta. Selanjutnya keturunan mereka pun menganggap dirinya raja. Dan kalau sudah raja, tidak ada keharusan bekerja keras. Malah sebaliknya bisa berbuat menurut keinginannya yang dalam bahasa batak disebut lomokku di ahu (semau gue). Tapi saya punya anggapan itu mitos, masih ada lelaki batak yang mau banting tulang untuk memperjuangkan hamoraon (kekayaan), hasangapon (terhormat) dan hagabeon (punya banyak anak), buktinya suku Batak ada dimana-mana bahkan sampai ke manca negara dan lelaki Batak terkenal sebagai pekerja ulet dan kesuksesan para perantau di Jakarta menunjukan semangat kerja keras yang luar biasa.

Namun sunguhpun pria atau suami bukanlah suatu titik beku diskriminasi, kenyataan kadang-kadang sangat memilukan. Dihampir semua tempat di Tapanuli Utara misalnya banyak pria lebih banyak menghabiskan waktunya diwarung. Di Limbog dan Sagala yang menurut mitologi dalam Sianjur Mula-mula disebut sebagai asal-muasal orang batak, warung kopi dan pakter tuak sangat ramai dikunjungi kaum pria.

Pria batak sangat tersinggung kalau disebut wanita yang lebih giat. Bahkan mereka juga menolak jika penghargaan terhadap wanita sangat kurang, kendati dalam adat selalu tampil lelaki. Tapi yang pasti bahwa hampir seluruh lagu pop batak menyenandungkan seribu celaka jika ibu meninggal. Penderitaan ibu tak ada habis-habisnya ditangisi dalam lagu batak sebaliknya ayah malah kerap dikecam sebagai sumber bencana kerena berjudi dan mabuk atau juga menelantarkan keluarga.

Derita ibu (Ina) dituangkan dalam lagu Opera Serindo, ciptaan seniman besar Batak almarhum Tilhang Gultom, mengungkapkan penderitaan ibu secara lebih dahsyat. Dikisahkan senandung seorang ibu pada anaknya (O…Ucok). Suaminya pergi entah kemana. Hati remuk redam, rasanya ingin menerjunkan diri hingga kedasar bumi. Tapi apakah mungkin melakukan hal ini, sebab dulupun wanita ini memperoleh kasih sayang dari ibunya. Maka ia bertekad bekerja keras untuk membesarkan anak yang ditinggal ayah itu, sampai suatu waktu bis berhasil dalam hidupnya. Dan kalau suatu waktu suaminya mengambil anak itu, wanita ini tidak mungkin bisa menolaknya, karena marga suami otomatis melekat pada anak. Dalam hal ini suami akan tinggal sendiri, meratap seorag diri. Tapi biarlah anak itu bisa mencapai cita-citanya.

Di lapo tuak di Siantar, Medan, Prapat, Porsea, Balige, Tarutung bahkan sampai ke pelosok-pelosok Samosir, senandung penderitaan ibu tidak pernah absen. Dinyanyikan dengan nada tinggi dan kompak, suara mereka mengalun memecahkan kesunyian malam. Begitu indah terdengar suara mereka, jauh berbeda dengan sikap keras yang ditampilkan masyarakat batak.



No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...