Thursday, December 24, 2009

Alwi Shahab : "Softoh Saat Gandaran"

Dalam bulan Dzulhijah dan beberapa bulan berikutnya banyak keluarga Betawi mengadakan pesta perkawinan, hajatan atau keriaan, menurut istilah  Betawi. Begitu juga masyarakat keturunan Arab di Jakarta.


Namun, ada sesuatu yang hilang dari tradisi perkawinan masyarakat keturunan Arab di tempo doeloe, yakni acara ngarak pengantin yang sampai tahun 1960-an seolah-olah merupakan suatu kemustian. Acara ini disebut gandaran. Dinamakan demikian, karena saat pengantin pria menuju kediaman calon mertoku(mertua) ia dilepas dengan iring-iringan puluhan mobil. Semua pengiringnya pria dari keluarga dan kenalan.

Acara gandaran umumnya dilaksanakan Sabtu atau Ahad sore, dua hari setelah agid atau akad nikah. Bahkan ada acara khusus untuk menghadiri gandaran. Maklum, ketika itu meskipun secara resmi pasangan sudah suami istri,  tapi pengantian pria belum menginap di kediaman istri. Harus menunggu pesta perkawinan (resepsi), yang biasanya diadakan Sabtu atau Ahad sore.

Menjelang gandaran, sehabis Ashar, para pemuda sudah berkumpul di kediaman mempelari pria. Karena pada tahun tersebut banyak yang belum memiliki mobil, para pengantar secara patungan menyewa dari perusahaan mobil Oteva,  Hilverdink dan Olimo, di Jl Hayam Wuruk dan Jl Gajah Mada. Mobil buatan Jepang belum muncul. Umumnya mobil saat itu bermerek Morris dan Opel buatan Inggris atau Fiat produk Italia.

Pada saat gandaran terjadi softoh atau bergurau dengan mempermainkan pengantin pria. Seperti ketika iring-iringan mobil dari Kwitang (Jakarta Pusat) menuju Pekojan (Jakarta Barat), lebih dulu menuju Tanjung Priok, Jakarta Utara. Si pengantin yang mengenakan pakaian lengkap diturunkan di tepi pantai.

Yang kelewatan, pernah terjadi, siangnya calon pengantin pria diculik dan dibawa ke Puncak, yang kala itu jalan masih sepi. Karuan saja di kediaman pengantian wanita para tamu menjadi gelisah karena harus menunggu berjam-jam.

Juga pernah terjadi, para petugas Hotel Des Indes (kini sudah dibongkar dan jadi pertokoan), menjadi kalang kabut dan bersiap-siap menyambut iring-iringan kendaraan 20 hingga 30 mobil yang memasuki hotel paling mewah di Jakarta saat itu. Para petugas hotel siap memberikan pelayanan sebaik mungkin, tahu-tahu yang muncul seorang pengantin. Oleh pengiring dia dibiarkan berjalan sendirian di halaman hotel. Sementara para pegawai hotel terbengong-bengong.

Ada softoh yang lebih kelewatin lagi. Sang pengantian diboyong ke pemakaman Tanah Abang sebelum sampai ke kediaman mempelai wanita. Kebetulan saat itu ada jenazah yang hendak dimakamkan. Para petugas pemakaman menjadi kuciwa ketika yang turun dari mobil bukannya jenazah, tapi pengantin dengan bunga ditangannya. "Kalo becande jangan keliwatan. Ini kan kuburan. Masak bawa-bawa penganten," kata petugas kuburan sewot.

Jika selama gandaran wanita tidak ikut campur, tidak demikian ketika pengantian tiba di kediaman mertuanya. Kini peranpun berpindah tangan. Para wanita, terutama gadis-gadis yang sudah lama menunggu, bersorak-sorak sambil menggoda kedua mempelai yang bersanding di pelaminan. Kadang-kadang softoh

Malam harinya orkes gambus digelar di kediaman pria. Pada tahun 1950-an, sudah mulai digantikan oleh orkes Melayu dan kemudian orkes dangdut pada pertengahan tahun 1960-an. Penonton pria dan wanita di rumah sahibul bait (tuan rumah) biasanya dipisah. Kalau pria duduk di permadani maka wanitanya mengintip di belakang jendela.

Pada tahun 1950-an, penyanyi Ellya Khadam menyanyi diiringi Orkes Melayu Chandraleka dari belakang jendela. Dewasa ini banyak orkes gambus yang pemain dan penyanyinya wanita. Tari zafin bukan lagi dominasi pria, tapi juga wanita keturunan Arab. Pada acara-acara perkawinan, wanita Arab, termasuk ibu-ibu, ikut berjoget di antara mereka.

Gambus mulai dikenal di Indonesia bersamaan dengan kedatangan para imigran Hadramaut di abad ke-19. Beberapa wilayah kampung Arab tempat awal gambus berkembang adalah Jakarta, Bogor, Kauman di Solo, Semarang, Pekalongan dan Surabaya. Pada waktu senggang para imigran dari Hadramaut ini sambil kongkouw dan bersenang-senang, mereka bermain gambus yang oleh masyarakat disebut musik irama padang pasir.

Pada perkembangannya, di Indonesia gambus bukan saja diminati keturunan Arab, tapi juga masyarakat berbagai etnis. Maka gambus pun menjadi pengiring pesta-pesta perkawinan, termasuk di kalangan masyarakat Betawi. Gambus pernah menjadi musik paling disenangi hingga menjelang 1950-an. RRI sampai membuat siaran tetap gambus.

Di antara musisi gambus kesohor adalah Syech Albar, ayah Ahmad Albar dan kakek Fachri Albar. Pada 1935 rayuannya sudah direkam dalam piringan hitam His Master's Voice. Suara dan petikan gambusnya bukan saja digemari di Indonesia, tapi juga di Timur Tengah. Jalan yang dirintis Syech Albar dirintis pula oleh pemuda-pemuda keturunan Arab di berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah orkes gambus pun bermunculan di Jakarta, Surabaya, Makassar, Palembang, Banjarmasin dan Gorontalo.

Bersamaan dengan munculnya gambus, masyarakat juga menggemari lagu-lagu berirama Melayu, yang kemudian berkembang menjadi orkes dangdut, dengan pelopor para keturunan Arab, seperti Husein Bawafi, Husein Aidit, Mashabi, Munif Bahasuan dan Muchsin Alatas.
wanita tidak kalah  dengan pria meskipun hanya sekedar meledek.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...